Indonesia Dalam Cengkraman Politik SARA

Islam tuhan, Islam manusia adalah sebuah buku yang ditulis oleh seorang cendekiawan muslim Haidar bakir yang mengupas seputar wajah “Agama dan spiritualitas dijaman kacau”. Bagian-bagian dalam buku tersebut jika didalami secara objektif dan rasional akan membimbing kita ke jalan alam pemikiran krtitis dalam menyikapi masaalah yang tengah genting dipersoalkan bangsa ini. Polemik politik bernafaskan sara menjepit ruang kebebasan bagi sebuah negara yang mengakui 5 agama yang hidup berdampingan satu sama lain ditimpa gelisah karna kebebasan mereka harus dibeli mahal dengan rela melihat wajah agama mereka terseok-seok oleh jastifikasi Umat Mayoritas.
Setelah teggelam kedalam perspektif universal Haidar bakir melalui tulisanya, kita ibarat mengalami sebuah tabrakan kecil ditengah perjalanan jauh, realitas kekinin kerap kali menyedot dan mengeringkan energi berpikir positif perlahan mengikis rasa percaya diri sebagai orang baik,  kehilangan jati diri.  Jaman yang disusupi itikad jahat, jaman dimana sebagian besar telah kehilangan dahaga spiritual, realitas ibarat penjara paling kejam bagi orang-orang yang berpikir benar, selebihnya kelompok yang sepatutnya menjadi sumber inspirasi bagi perbaikan-perbaikan masa depan negara dan bangsa. Justru lulu lantah berkeping-keping oleh hantaman badai kepentingan politik.
Letupan konflik sering terjadi dimana-mana, Berita-berita di Televisi, media cetak, online, maupun berbagai media sosial lainya berperan sebagai arsitek realitas. Memberitakan, menginformasikan tidak sesuai dengan fakta lapangan, lebih dari itu media menghibur dengan konten-konten diluar batas wajar. Nilai-nilai seni harusnya menjadi landasan membangun edukasi pendidikan, sosial, dan budaya dalam rangka memanusiakan manusia menurut Ki hajar dewantara. Justru televise sebagai pusat visual relitas memicu problematika moral anak-anak jaman cukup serius.
Artinya, di era kemajuan industri dibidang informasi dan komunikasi berperan sangat penting mensosialisasikan nilai-nilai positif. Memberi pelayanan informasi ke arah yang tidak semata-mata menggiring masyarakat sebagai sasaran komoditi politik dan pasar ekonomi. Proses pengunaan fungsi media komunikasi tak terarah, orang-orang kurang bertanggung jawab sesekali mengunakan media sebagai alat propaganda politik, agama, suku, dan etnis. Perseteruan sangat Nampak dan seringkali terjadi seperti pada beberapa tahun terakhir, kelompok atau komunitas membawa atas nama agama, atas nama negara, serta rakyat, lebih lucu lagi demi pancasila orang saling menyudutkan satu sama lain. Melihat orang lain menggunakan sudut pandang nilai-nilai agama tetapi degan wajah marah dan kekerasan.

Sejarah tentang perseteruan berdarah (Konflik Papua,Maluku,Posso) karena perebutan kekuasaan, perebutan ruang ekonomi (Kekayaan Sumber Daya Alam), penegasan atas pengakuan ideologi kelompok yang satu lebih benar dibanding ideologi kelompok lain merupaka hukum alam dan hukum sosial yang sangat sulit dihindari. Noor Huda Islmail dalam haidar bakir menyebutkan ada tiga faktor pendorong tindakan kekerasan itu dapat terjadi. Pertama, individu yang termarginalkan, kedua, kelompok yang memfasilitasi, dan ketiga adalah ideology yang membenarkan.
Konflik pada hakekatnya bagian dari dimensi kehidupan, dan itu terjadi secara alami sejak manusia mengenal yang namanya perbedaan. Akan tetapi, konflik dilihat dari sudut pandang lain, umumnya terjadi karena Individu, kelompok, dan komunitas hidup dalam suatu wilayah diakui secara hukum, namun dari segi keadilan mereka selalu tersisikan. Ada beberapa alasan fundamental kelompok-kelompok tertentu melancarkan propaganda baik secara persuasif, maupun lewat saluran media massa adalah menuntut perlakuan secara adil, selain itu menuntut agar keluar dari garis lingkaran kekuasaan negara (Referendum) misalkan Papua (OPM), Aceh (GAM), dan Maluku (RMS).
Suatu fenomena klasik tapi nampak bukan hal biasa, isu-isu tidak produktif merwarnai dinamika bersosial, berpolitik, beragama, berdemokrasi, dan berbudaya pada bangsa. Nilai-nilai universal cenderung terpeleset ke selokan-selokan nilai kehancuran. Tampil dengan wajah dan simbol agama, menyerukan sebuah penolakan atas kebijakan yang merugikan negara tetapi dengan tindakan anarkis, tutur kata berbau najis adalah contoh memohon keadilan diluar kejernihan nalar tentang kebenaran, keadilan, dan kebebasan.
Perang SARA meledak-ledak di Kota jakarta, umat islam turun kejalan mendesak negara segera menindak seorang kepala daerah karena diduga telah melecehkan Al Qur,An sebagai kitab suci umat islam. Ujarannya yang tidak senonoh, dengan menyebut orang islam mengunakan surat Al Maida Ayat 51 yang menerangkan tentang Islam melarang memilih pemimpin Kafir sebagai alat kampanye politik agar orang islam tidak memilih dia. Karena Gubernur seorang yang menganut agama nasrani, kesalahanya merepresentase ummat Kristen jakarta bahkan seluruh indonesia. Turun ke jalan, suara lantang memekakkan langit ibu kota jakarta “Ahok Harus ditangkap” ditindak sesuai hukum yang berlaku, Ahok telah lecehkan agama islam. Kurang lebih seperti itulah tuntutan umat islam.
Tuntutan umat islam perlahan terlihat transparan, meski gerakan tersebut bernafaskan keadilan, tetapi sela-sela tuntutan tersebut memberi peluang bagi kelompok tertentu menunggangi kesalahan ahok sebagai gerbang persaingan dan pertempuran politik babak baru. Akhirnya, fakta itu terkuak nyata, Ahok kalah telak dalam pertarungan perebutan kursi panas kosong satu DKI Jakarta. Setelah PILKADA DKI Jakarta dimenangkan oleh Anis Baswedan yang notabenenya beragama islam. Ummat Kristen kala itu terbesit marah tapi dalam cekam, shingga letupan-letupan keras umat islam jakarta meneriak tangkap ahok sekalipun mereka terus menyepi dalam hening.
Konflik antar perbedaan Suku,Etnis, dan agama beraroma politik kian menggurita melanda bangsa ini, sepertinya kita akan sedang hadapi fase-fase sulit. Perbedaan tak lagi dipandang sebagai rahmat, justru menjadi sumber malapetaka bagi masa depan negara indonesia. Bukan hanya sekedar persoalan kesenjangan ekonomi yang memicu konflik secara massif, tetapi persoalan negara gagal mengakomodasi keaneka ragaman kedalam satu geggaman bernegara. Bentruan antar umat beragama, komunitas dan kelompok yang berbeda ideologi adalah perselesihan jaman, krisis moral maupun kesalahan dalam interpretasi selalu menjadi bahan dasar yang perlu dibenahi kembali.
Ketidak selarasan antara visi kebijakan politik dengan nilai-nilai pancasila sebagai filosofis membangun keadaban dalam bernegara menurut saya adalah bagian dari mata rantai benturan dan tindakan anarkisme itu mencuat. Ketika orang-orang merasa kehilangan jati diri, kehilangan keidentitasan sebagai warga negara, maka pancasila hanyalah sebuah simbol yang tidak memiliki makna apa-apa. Mau tidak mau, siap atau tidak siap, secara psikologis tiap orang mengalami perubahan kepercayaan, distras sangat massif.
Mereka kembali pada agama, suku, dan budaya sebagai tembok untuk berlindung dari segala ancaman, misalnya ancaman nilai-nilai agama dirusaki, atau ditiadakan, risau jangan sampai nilai-nilai budaya yang diwarisi secara turun temurun tergilas oleh praktek  pragtmatisme. Banyak sekali titik akar persoalan bangsa saat ini, hanya saja, sejak dulu sampai sekarang kita masih hobi mereduksi kesenjangan ekonomi, sosisal, dan politik sebagai dasar rujukan diagnosa penyakit akut yang menyerang membabi buta tersebut. Padahal, masih ada factor-faktor lain yang penting dijadikan sebagai pisau bedah dalam merunutkan solusi-solusi bebaskan indonesia jadi REST AREA membangun bangsa yang lebih pancasilaisme.
Istilah yang pernah digunakan oleh Samuel Huntington “Benturan Antar Peradaban” mempunyai garis makna dan penjelasan hampir mirip dengan situasi yang dihadapi oleh bangsa indonesia saat ini. perang simbol yang dilancarkan lewat media massa, kampanye-kampanye bernada Hate Space adalah urusan yang lebih dari perkara ekonomi, yaitu urusan berkaitan dengan saling tidak mengakui ideologi, dan keyakinan beragama. Misalnya, isu terorisme identik dengan islam, sedangkan ungkapan kafir sering dialamtkan kepada orang yang berketuhanan diluar kepercayaan agama islam dan masih banyak lagi contoh kasusu sejenis.
Arus pergerakan politik cenderung saling memberi alat khsus mencapai kekuasan dalam rangka merampungkan agenda global adalah catatan sangat penting dan perlu digaris bawahi. Orang islam berberak dengan spirit islamnya, orang cina berjalan sesuai dengan doktrin ketionghoanya, orang Kristen dengan gerakan politik dogmatiknya. Tumpang tindih opini berbau Isu SARA saling menggunting satu sama lain sekali lagi bukan sekedar perkara ekonomi belaka. Perang saling klaim mayoritas dan minoritas yang layak dan pantas menjadi pemimpin atau penguasa negara, maupun daerah merupakan babak serius, babak dimana indonesia telah menghadapi sebuah badai besar yang diramalkan oleh Huntington.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Genap Satu Tahun, Lelaki Pemarah dan Suka Protes itu Kembali Untuk Selamanya

Pada tanggal 7 Desember 2015, Lahir dengan sempurna, menangis seperti bayi pada umunya, sebagai tanda ia telah datang di dunia setelah sekia...