Saya sengaja mengorek kembali tradisi Babari lewat tulisan ini. Bagi orang maluku utara, Khususnya Masyarakat Suku Makeang sudah tidak asing lagi mendengar atau melihat tradisi babari. Tradisi dalam Bahasa Makeang (Maka Yaklo), sedangkan dalam Bahasa indonesia (Saling Membantu).
Saling membantu yang dimaksud adalah menolong satu sama lain dalam hal bekerja. Istilah Dalam Kamus Ilmiah disebut Simbiosisi Mutualis, Bekerja Bersama-sama guna mencapai tujuan. Mungkin kita pernah mendengar orang menggunakan istilah gotong-royong, bahu-membahu melakukan segala sesuatu agar terasa ringan untuk mencapai tujuan-tujuan yang dimaksud.
Sebenarnya Tradisi Babari hanyalah sebuah istilah lokal, yang digunakan oleh masyarakat tradisional Suku Makeang. Tetapi soal apa maksud dari tradisi ini menurut saya, masyarakat seluruh indonesia sudah menjumpai itu. Seperti saya sebutkan di atas tentang Tradisi Gotong-royong.
Sudah lama tradisi ini berkembang dalam kehidupan masyarakat Makeang. Sejak saya masih kecil, sudah mendengar bahkan terlibat langsung ke dalam tradisi ini. Menurut saya Tradisi Babari sangat unik, dan cukup menarik jika diteliti dari segi nilai budayanya.
Tradisi Bahari (Saling Membantu) jika ditinjau dari segi sosiologis merupakan bentuk akumulasi kesadaran sosial masyarakat makeang. Nilai kerja sama dalam sebuah tradisi babari tidak sekedar meringankan pekerjaan orang lain, namun disisi yang lain babari sendiri merupakan tanggung jawab sosial bagi setiap kelompok dan masyarakat makeang yang hidup didesa.
Tradisi Babari masih terawat sampai saat ini, jika kalian berkunjung ke desa-desa yang penghuninya suku makeang, maka tak sulit bagi anda untuk menjumpai tradisi ini. Konsep Babari banyak dihidupkan ke dalam dunia bekerja. Rata-rata sembilan puluh persen masyarakat makeang hidup sebagai petani Pala, cengkeh, kelapa, dan coklat (Kakao). Menurut pengalaman saya, pekerjaan sangat sulit bagi masyarakat desa adalah petani Kelapa (Kopra). Sehingga Praktek Tradisi babari lebih banyak digunakan oleh petani Kelapa (KOPRA).
Selain itu, Konsep tradisi babari juga dilakukan dalam hal membangun rumah, membuat Sampan (Perahu), membersihkan kebun dan Lain-lain. Sangat terasa, adanya tradisi babari masyarakat makeang merasa mudah ketika melakukan pekerjaan pekerjaan berat.
Sejauh ini, dalam kaca mata saya melihat bahwa Globalisasi benar-benar terasa hingga ke desa-desa. Setelah melihat tradisi babari sedikit mengalami pergeseran cukup jauh. Dulu orang saling menolong tanpa berharap upah, tetapi dengan harapan orang yang sudah ditolong akan kembali menolong orang yang sudah menolongnya.
Sekarang justru terbalik, orang yang menolong kita harus dibayar, begitu pun sebaliknya, setelah orang yang sudah ditolong Lalu kembali menolong pun tetap harus diberi upah. Saya pun berasumsi bahwa nilai-nilai sosial dari tradisi babari telah tersubtitusi kedalam nilai yang lebih bersifat ekonomi (Materi).
Masyarakat makeang dulu dan sekarang sangat berbeda jauh, meskipun warna tradisi dalam kehidupan sehari-hari belum terlihat punah. Akan tetapi, tradisi seperti babari pada dasarnya merupakan wujud manisfestasi kesadaran sosial, kesadaran Kolektif, justru sekarang mengalami sebuah akulturasi besar. kemajuan Globalisasi ditandai dengan tingginya tuntutan ekonomi, dan desakan kebutuhan dalam rumah tangga membuat pola pikir, dan pola hidup sebagian masyarakat mengalami sebuah perubahan besar.
Masyarakat tradisional berpikir moderen, sebut saja seperti itu dalam menyebut masyarakat Suku Makeang. Membuka diri berlebihan untuk menerima perubahan yang ada akan menggilas identitas kultural hasil warisan para leluhur.
Kemajuan Globalisasi terutama di bidang informasi dan komunikasi secara gradual memengaruhi budaya-budaya tradisional. Jika suatu saat globalisasi telah berhasil mengepung pola hidup, dan pola pikir kita, menurut saya akan dengan sangat mudah budaya-budaya yang membawa nilai-nilai kebaratan masuk dan menyusup, dan membongkar nilai-nilai lama yang melekat kedalam budaya dan tradisi kita.
Semakin tinggi kebutuhan ekonomi, dan semakin rendah peluang kerja, dan pendapatan ekonomi keluarga semakin menurut drastis. Justru budaya atau tradisi saling membantu, bergotong-royong, saling bahu-mambahu, yang dipraktekkan dalam tradisi Babari perlu dijaga dan dilestarikan sebagai kekayaan budaya, sebagai identitas yang tak boleh hilang begitu saja.
Dari segi manfaat, globalisasi telah berhasil bebaskan manusia dari cengkraman keterbelakangan sosial, maupun ekonomi. Namun, disisi lain Globalisasi tidak menawarkan manfaat-manfaat yang notabenenya merugikan secara ekonomis, dan menguntungkan nilai sosial lebih. Artinya bahwa, Globalisasi tidak dibatasi ruang dan waktu, tidak dibatasi oleh nilai-nilai sosial budaya, dan agama.
Modernisasi sebagai anak kandung kapitalisme, globalisasi sebagai kendaraan untuk menjelajah peluang-peluang pasar ekonomi melihat manusia atau masyarakat sebagai ladang kapital ekonomi yang sangat menjanjikan keuntungan lebih.
Pola hidup, pola pikir, pola makan, semuanya telah terprogram secara massif, dikelola sedemikian rupa sehingga pola-pola hidup suatu masyarakat bisa berimbas pada keuntungan ekonomi ssebanyak-banyaknya.
Ketika modernisasi telah berhasil menjanjikan perubahan dan kemudahan dalam hidup, tetapi tidak menyediakan nilai-nilai universal, nilai-nilai yang telah lama melekat dalam setiap tradisi dan budaya. Kita mempunyai kewajiban melakukan sebuah transformasi budaya, dan tradisi sehingga modernisasi tidak semena-mena hadir dan menggilas semua nilai-nilai yang kita anut selama ini.
Tradisi babari misalnya, haru dikemas kedalam bentuk lebih moderen, tanpa mengurangi, dan mengikis nilai-nilai substansi dari budaya dan tradisi Babari itu sendiri. Tujuanya adalah, menghadapi gejolak modernisasi yang dikampanyekan melalui saluran globalisasi. Industri media informasi dan komunikasi kerap menjadi alat ideal ekspansi budaya Moderen, budaya yang sarat dengan nilai-nilai kebaratan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar