Saya yakin, masih banyak orang-orang baik dan jujur di negeri ini, hanya saja mereka masih berlindung di balik tirai kekuasaan. Bukan karena mereka telah sempurna jadi pengecut, tetapi mereka kehilangan taring melawan kemurkaan kekuasaan yang ada.
Sejarah selalu berkata jujur, tak sedikit tokoh bangsa lahir dari rahim perjuangan hingga meletakkan fondasi cita-cita kemerdekaan. Berkat jerih paya para the Faunding Father nafas kebebasan terasa sampai detik ini. Meskipun, tengah terseok oleh oleh dinamika kepentingan yang membunkam kebenaran.
Sejak era orde lama, orde baru,hingga lahirnya reformasi, bangsa indonesia masih terjepit oleh wacana demokrasi. Demokrasi selama ini dipuja, di sanjung bak ratu, belum berhasil bimbing bangsa ini kearah yang lebih baik.
Wacana lama masih jadi kemasan kebijakan negara, seperti kemiskinan, korupsi, minimnya lapangan kerja, pengangguran meningkat signifikan tiap tahun. Kebijakan negara terkesan homogen, mengerahkan kekuatan materi hanya untuk menyelesaikan masalah itu-itu saja.
Konon, demokrasi merupakan konsep ideal menata keadaan bangsa yang carut marut seperti sekarang ini. Tetapi, insiden memotong lidah orang-orang yang ingin berkata jujur, adil, serta memgritisi kebijakan-kebijakan sepihak dihakimi secara membabi buta.
Ingatan kita tentu belum tumpul, aksi-aksi oleh para kelompok agent Of Change, agent Off Control di tuduh makar, intoleran, dan diskriminatif. Para penguasa menggunakan alat negara (TNI/POLRI) lalu menekan keras, memutuskan mata rantai pergerakan lewat cara-cara persuasif dan pragmatis.
Melihat praktek-praktek kekuasaan bararoma militer seperti demikian, sesungguhnya, perjalanan demokrasi pada bangsa ini patut dipertanyakan. Dua menara kembar Yakni, kebebasan dan kesetaraan kehilangan esensi, akhirnya, demokrasi tidak memberikan ruang kebebasan yang utuh.
Mari kita lihat, insiden Pengacungan kartu kuning oleh Ketua BEM Universitas Indonesia kepada presiden Joko Widodo beberapa waktu Lalau di salah satu acara Dies Natalies UI. Insiden tersebut membuat gaduh publik, ada yang mengkritik aksi Zadit Taqwa Ketua BEM UI sebagai tindakan yang memberi kesan seakan-akan ditunggangi oleh oknum-oknum tertentu yang berkepentingan.
Tetapi, tak sedikit pula acungkan jempol kepada Ketua BEM UI, Bahwa tindakan zaadit adalah bagian dari mewakili aspirasi mahasiswa seluruh nusantara. Banyak kalangan angkat bicara, terutama orang-orang yang hidup dalam lingkaran kekuasaan.
Kehebohan publik sampai detik ini belum kunjung disudahi. Muncul dimana-mana, Debat publik, bertemakan Kartu Kuning Untuk Jokowi, baik melalui media sosial, maupun media mainstream lainya (TV/RADIO).
konstitusi kita telah di sepakati, bahwa demokrasi lah prinsip bernegara kita. Sepanjang kritikan, masukan-masukan dari mana saja, selama tidak melanggar hukum atau aturan yang berlaku, sepertinya sah-sah saja.
Itulah resiko sebuah negara demokrasi. Pemerintah harus mengakui, tanpa harus memberikan tamparan balik terhadap mahasiswa. Sejarah memang tidak boleh di pungkiri, bahwa hiruk pikuk perjalanan bangsa indonesia sampai detik ini, bagian dari hasil tetesan darah juang mahasiswa.
Menurut hemat saya, bangsa indonesia meski masih sangat dini menganut sistem demokrasi, tetapi telah memasuki fase-fase dewasa, yang tidak dewasa dalam hal ini adalah pemerintah, dalam hal ini negara, lebih spesifik lagi adalah Rejim Jokowi.
Melihat kondisi negara penuh carut marut sekarang ini, membuat akal dan batin kita terus berkecamuk. Lembaga negara cenderung memproduksi realitas semakin kurang sehat, memicu problem Sosial, ekonomi, politik, dan agama.
Mestinya, para pemangku kebijakan negara penting untuk memetik hikmah dibalik persoalan yang melilit bangsa selama ini. Tak perlu mempolemikkan kartu kuning jokowi sebagai objek masalah yang sangat penting.
Sebab, masih banyak persoalan yang lebih urgen, yakni Kemiskinan, dan korupsi yang kian merobohkan dinding-dinding negara. Jauh lebih afdol jika pemerintah melayani aspirasi mahasiswa dengan cara-cara persuasif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar