Kita harus berpikir seribu kali ketika menjadi seorang pengusaha besar tanpa membangun relasi dengan kekuasaan. Apalagi Aset-aset penting yang punya pengaruh besar terhadap iklim ekonomi suatu negara atau daerah.
Sudah menjadi hal lumrah, seorang calon Presiden, Bupati, Gubernur, dan Walikota mudah sekali berelasi dengan pengusaha-pengusaha makro, sebagai pihak ketika biasa disebut dengan donatur.
Ada dua alasan para pengusaha bermitra dengan penguasa, selain mengamankan aset-aset pribadinya, juga ingin bergaining posisi secara politik agar melebarkan sayap-sayap bisnisnya.
Pernah kita mendengar, ketika hangat-hangat politik DKI Jakarta. Salah satu kandidat Calon Gubernur dari Petahana Basuki Tcahaya Purnama atau akrab di sapa AHOK Diopinikan sebagai patron para pebisnis kelas Kakap atau biasa disebut 9 Naga. Para calon-calon kepala daerah sulit menghindari opini-opini demikian, meskipun mereka tersudut secara politis, tetapi mereka tetap berdalih secara logis. Pengusaha sebagai pihak ketiga yang berperan vital pada setiap momentum politik sangat sulit dihindari.
Para elit-elit politik nasional misalnya, Bigrown mereka rata-rata pengusaha. Jadi obsesi politisi kelas nasional yang mempunyai latar belakang pengusaha berbeda dengan politisi lokal yang lebih dominan menjadikan politik sebagai kanal sosial ekonomi untuk mengubah struktur kehidupan mereka. Awalnya sebagai Politisi jadi-jadian, setelah merasakan betapa dunia Politik itu adalah ladang paling subur mendulan rejeki.
Ada dua fenomen klasik mewarnai politik menjadi sinar kekuasaan. pertama, Memperbaiki nasib secara Ekonomi. Kedua, untuk para pebisnis adalah mengamankan investasi ekonomi mereka. Oleh karena itu, politik tidak serta merta menjadi media pelebur pengabdian secara Populis. Tujuan-tujuan substansi politik diseret jauh-jauh, nilai-nilai sosial sesungguhnya harus dirawat sebagai dinding pemuas Nafsu kekuasaan, justru terbalik mengancam eksistensi bernegara.
Saya coba gunakan istilah "Politik Sebagai Mesin Bisnis" meskipun masih jauh dari kata tepat. Tapi saya mencoba menelisik relitas politik secara atomistis, ternyata sedikit mewakili nalar tentang Peran Pengusaha terhadap kanca perpolitikan nasional maupun lokal.
Ekonomi dan politk ibarat dua mata uang yang sulit dipisahkan. Pilitisi dan pengusaha pun demikian, Capital Social tak memungkinkan sebagai alat politik yang memuluskan segala kepentingan kekuasaan. Modal ekonomi adalah segala-galanya, tak memiliki modal yang kuat sebagai basis kemenangan, akan semakin sulit mencapai apa yang dicita-citakan.
Ekonomi, sosial, budaya, agama, dan politik kesemuanya harus diletakkan pada porsi nilai sosial yang seimbang. Mengabaikan dimensi-dimensi nilai universal kemukinan akan menyeret Politik dan demokrasi ke dalam jurang kehancuran.
Peran polistisi cenderung mengidealkan para pengusaha atau pihak ketiga kedalam posisi politik strategis, sehingga meskipun pemimpin yang berasal dari kalangan politisi, tetap saja kekuasaan itu jadi Boneka para pengusaha. Penguasa hanyalah onderdil para pebisnis kelas kakap, penguasa hanyalah tameng untuk melindungi hasrat ekonomi kapitalis.
Politik dan partai politik adalah mesin bisnis para pengusaha dan penguasa. Saya ingat satu kalimat yang prrnah dilontarkan seorang pakar Ilmu Hukum Tatanegara Dr. Margarito Kamis. SH.M.Hum. bahwa, pengusaha paling sukses adalah penguasa. Oleh karena itu, Pengusaha-pengasa Mikro maupun Makro menjadikan investasi mereka sebagai alat meraih kekuasaan.
Bahkan, para pengusaha mentransformasi peran bisnis mereka kedalam ruang-ruang kepentingan politik secara Ansih. Politisi-politisi berlatar bisnis seperti Surya Paloh, Hari Tanoe Sudibyo, yang mempunyai Brand politik sangat kuat.
Intinya, Politik, dan Partai Politik adalah mesin bisnis paling ampuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar