Pernah dalam satu waktu, berdiskusi dengan beberapa orang teman. Kebutukan mereka sedikit nyambung ketika diajak berdiskusi, apalagi diskusi yang menelaah seputar dinamika politik tanah air.
Dalam kesempatan itu, di tengah kebingungan untuk menentukan tema diskusi apa yang lebih seksi untuk di bedah secara Ilmiah. Saya kemudian menawarkan kepada beberapa sejawat diskusi saya. Bagaimana kalau tema Kita hari ini tentang "Orang Miskin Di Larang Berpolitik". Spontan, mereka ikut setuju dengan berbagai alasan-alasan yang cukup relistis.
Diskusi pada saat itu pun berlangsung alot. Membahasa politik di tengah orang-orang yang di rundung fanatisme politis pasti memanas. Ada segelintir kelompok tertentu kerap kali melihat politik sebagai sudut pandang penting untuk mempertegas solidaritas sosial mereka.
Misalnya, politik identitas, dimana Identitas Suku, Agama, budaya, dan adat istiadat seringkali dijadikan fasilitas yang memungkinkan sebuah kekuasaan dapat tercapai. Banyak sekali tantangan yang dihadapi oleh setiap negara yang menganut sistem demokrasi seperti indonesia.
Meskipun, faktor kultural merupakan bagian dari dimensi sosial yang ikut pengaruhi konstelasi politik indonesia, bahkan sampe tingkat daerah. Disisi lain, tak bisa di nafikan bahwa politik dan ekonomi berjalan beriringan. Apa yang pernah disentil Marx diberbagai literasi yaitu, Ekonomi membentuk super struktur sosial suatu masyarakat, atau individu.
Istilah lebih sederhana dalam konteks politik adalah siapa yang mempunyai banyak uang, kemenangan akan berpihak kepadanya. Ketika seorang individu berhasil meraih apa yang diinginkan, dan berhasil membentuk prestise di dalam peran serta kapasitasnya.
realitas terkait dengan tradisi dan budaya dalam dunia politik. Bahkan telah mengepung pola hidup, cara berpikir, dan tindakan sehari-hari. Semua pasti telah melegitimasi secara total, bahkan jauh dari absurditas. Dalam suatu kontestasi politik, biaya politik (Political Cost) merupakan pra syarat utama bagi setiap orang yang mau mencalonkan diri. Baik sebagai Calon Gubernur,Bupati/walikota, legislatif, dan presiden.
Tentu alasan sudah sangat jelas, dinamika pengelolaan sistem demokrasi kurang Fair Play membibit praktek-praktek politik kotor. Bagi seorang calon kepala daerah, mental yang kuat, pengalaman segudang, prestasi gemilang, tak akan menjamin sebuah kemenangan dalam sebuah kompetisi. Biaya Politik (Political Cost) dan Politik Uang (Money Politik) adalah tradisi yang akan menjamin kemenangan dapat tercapai.
lemahnya sistem kekuasaan, dan regulasi dalam memproteksi problematika sosial politik yang tengah membentuk sebuah lebirin demokrasi ini. Ongkos perpolitik kian lama semakin meninggi membuat sejumlah orang memilih menjongos di orang-orang yang mempunyai modal yang cukup.
Arus percaturan politik semakin deras, orang-orang bermodal atau pengusaha pun bergiat terjun di dunia politik. Dulu selalu tampil sebagai pihak ketiga untuk mendanai kepentingan para penguasa. Sekarang justru mulai terbalik, Pengusaha berambisi jadi penguasa dalam rangka melindungi investasi pribadinya, atau betul-betul ingin berkuasa agar lebih kaya lagi.
Makna demokrasi menurut Abraham Lincoln "Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Dan Untuk Rakyat" sepertinya mengalami sebuah pergeseran makna amat jauh. Realitas sosial politik yang ada, demokrasi paling pas di terjemahkan "Dari Pemodal, Oleh Pemudal, dan Untuk Pemodal".
Charles Darwin dalam teori Evolusinya, menyebut yang kuat akan bertahan, sedangkan yang lemah akan tergilas. Suatu saat nanti, sistem demokrasi kita bertekuk lutut di bawah ketiak asing atau pemodal asing. Kiranya sedikit terbukti, setiap dentuman kebijakan terkesan kurang memihak kepada rakyat kecil.
Ketika kelompok pemodal suatu saat mampu merebut hati rakyat demi kekuasaanya. Distulah kemudian secara otomatis membentuk Midset setiap orang melihat politik sebagai sudut pandang peluang-peluang ekonomi.
Demokrasi dan politik kita berpihak kepada orang-orang yang beruang. Punya saham di mana-mana, dan punya relasi sangat kuat kepada penguasa yang lainya. Anak-anak muda harapan bangsa, meskin berjiwa patriot, ingin masuk ke dalam sebuah sistem kekuasaan untuk mengubah nasib rakyat. Tapi terkepung dengan paradigma Politik matrialistik.
Anak-anak muda yang berpotensi untuk mengawal aspirasi masyarakat. Akhirnya mengurungkan niat untuk tidak terlibat dalam politik praktis. Apalagi ikut bertarung merebut kekuasaan. Politik dan demokrasi di bangsa ini berbalut kan kapitalisme yang luar biasa.
Demokrasi hanya menyediakan ruang hanya untuk mereka yang punya ongkos politik yang cukup. Membayar partai politik, membangun kontrak politik dengan pengusaha atau pemodal.
Orang miskin di larang berpolitik. Jika orang miskin tetap saja ngotot untuk menjadi pemimpin yang ada kiranya tak semuda mengedipkan mata.
Arus percaturan politik semakin deras, orang-orang bermodal atau pengusaha pun bergiat terjun di dunia politik. Dulu selalu tampil sebagai pihak ketiga untuk mendanai kepentingan para penguasa. Sekarang justru mulai terbalik, Pengusaha berambisi jadi penguasa dalam rangka melindungi investasi pribadinya, atau betul-betul ingin berkuasa agar lebih kaya lagi.
Makna demokrasi menurut Abraham Lincoln "Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Dan Untuk Rakyat" sepertinya mengalami sebuah pergeseran makna amat jauh. Realitas sosial politik yang ada, demokrasi paling pas di terjemahkan "Dari Pemodal, Oleh Pemudal, dan Untuk Pemodal".
Charles Darwin dalam teori Evolusinya, menyebut yang kuat akan bertahan, sedangkan yang lemah akan tergilas. Suatu saat nanti, sistem demokrasi kita bertekuk lutut di bawah ketiak asing atau pemodal asing. Kiranya sedikit terbukti, setiap dentuman kebijakan terkesan kurang memihak kepada rakyat kecil.
Ketika kelompok pemodal suatu saat mampu merebut hati rakyat demi kekuasaanya. Distulah kemudian secara otomatis membentuk Midset setiap orang melihat politik sebagai sudut pandang peluang-peluang ekonomi.
Demokrasi dan politik kita berpihak kepada orang-orang yang beruang. Punya saham di mana-mana, dan punya relasi sangat kuat kepada penguasa yang lainya. Anak-anak muda harapan bangsa, meskin berjiwa patriot, ingin masuk ke dalam sebuah sistem kekuasaan untuk mengubah nasib rakyat. Tapi terkepung dengan paradigma Politik matrialistik.
Anak-anak muda yang berpotensi untuk mengawal aspirasi masyarakat. Akhirnya mengurungkan niat untuk tidak terlibat dalam politik praktis. Apalagi ikut bertarung merebut kekuasaan. Politik dan demokrasi di bangsa ini berbalut kan kapitalisme yang luar biasa.
Demokrasi hanya menyediakan ruang hanya untuk mereka yang punya ongkos politik yang cukup. Membayar partai politik, membangun kontrak politik dengan pengusaha atau pemodal.
Orang miskin di larang berpolitik. Jika orang miskin tetap saja ngotot untuk menjadi pemimpin yang ada kiranya tak semuda mengedipkan mata.