Kamis, 25 Januari 2018

Orang Miskin Di Larang Berpolitik

Pernah dalam satu waktu, berdiskusi dengan beberapa orang teman. Kebutukan mereka sedikit nyambung ketika diajak berdiskusi, apalagi diskusi yang menelaah seputar dinamika politik tanah air.
Dalam kesempatan itu, di tengah kebingungan untuk menentukan tema diskusi apa yang lebih seksi untuk di bedah secara Ilmiah. Saya kemudian menawarkan kepada beberapa sejawat diskusi saya. Bagaimana kalau tema Kita hari ini tentang "Orang Miskin Di Larang Berpolitik". Spontan, mereka ikut setuju dengan berbagai alasan-alasan yang cukup relistis.
Diskusi pada saat itu pun berlangsung alot. Membahasa politik di tengah orang-orang yang di rundung fanatisme politis pasti memanas. Ada segelintir kelompok tertentu kerap kali melihat politik sebagai sudut pandang penting untuk mempertegas solidaritas sosial mereka.

Misalnya, politik identitas, dimana Identitas Suku, Agama, budaya, dan adat istiadat seringkali dijadikan fasilitas yang memungkinkan sebuah kekuasaan dapat tercapai. Banyak sekali tantangan yang dihadapi oleh setiap negara yang menganut sistem demokrasi seperti indonesia.

Meskipun, faktor kultural merupakan bagian dari dimensi sosial yang ikut pengaruhi konstelasi politik indonesia, bahkan sampe tingkat daerah. Disisi lain, tak bisa di nafikan bahwa politik dan ekonomi berjalan beriringan. Apa yang pernah disentil Marx diberbagai literasi yaitu, Ekonomi membentuk super struktur sosial suatu masyarakat, atau individu.

Istilah lebih sederhana dalam konteks politik adalah siapa yang mempunyai banyak uang, kemenangan akan berpihak kepadanya. Ketika seorang individu berhasil meraih apa yang diinginkan, dan berhasil membentuk prestise di dalam peran serta kapasitasnya.

realitas terkait dengan tradisi dan budaya dalam dunia politik. Bahkan telah mengepung pola hidup, cara berpikir, dan tindakan sehari-hari. Semua pasti telah melegitimasi secara total, bahkan jauh dari absurditas. Dalam suatu kontestasi politik, biaya politik (Political Cost) merupakan pra syarat utama bagi setiap orang yang mau mencalonkan diri. Baik sebagai Calon Gubernur,Bupati/walikota, legislatif, dan presiden.

Tentu alasan sudah sangat jelas, dinamika pengelolaan sistem demokrasi kurang Fair Play membibit praktek-praktek politik kotor. Bagi seorang calon kepala daerah, mental yang kuat, pengalaman segudang, prestasi gemilang, tak akan menjamin sebuah kemenangan dalam sebuah kompetisi. Biaya Politik (Political Cost) dan Politik Uang (Money Politik) adalah tradisi yang akan menjamin kemenangan dapat tercapai.

lemahnya sistem kekuasaan, dan regulasi dalam memproteksi problematika sosial politik yang tengah membentuk sebuah lebirin demokrasi ini. Ongkos perpolitik kian lama semakin meninggi membuat sejumlah orang memilih menjongos di orang-orang yang mempunyai modal yang cukup.

Arus percaturan politik semakin deras, orang-orang bermodal atau pengusaha pun bergiat terjun di dunia politik. Dulu selalu tampil sebagai pihak ketiga untuk mendanai kepentingan para penguasa. Sekarang justru mulai terbalik, Pengusaha berambisi jadi penguasa dalam rangka melindungi investasi pribadinya, atau betul-betul ingin berkuasa agar lebih kaya lagi.

Makna demokrasi menurut Abraham Lincoln "Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Dan Untuk Rakyat" sepertinya mengalami sebuah pergeseran makna amat jauh. Realitas sosial politik yang ada, demokrasi paling pas di terjemahkan "Dari Pemodal, Oleh Pemudal, dan Untuk Pemodal".

Charles Darwin dalam teori Evolusinya, menyebut yang kuat akan bertahan, sedangkan yang lemah akan tergilas. Suatu saat nanti, sistem demokrasi kita bertekuk lutut di bawah ketiak asing atau pemodal asing. Kiranya sedikit terbukti, setiap dentuman kebijakan terkesan kurang memihak kepada rakyat kecil.

Ketika kelompok pemodal suatu saat mampu merebut hati rakyat demi kekuasaanya. Distulah kemudian secara otomatis membentuk Midset setiap orang melihat politik sebagai sudut pandang peluang-peluang ekonomi.

Demokrasi dan politik kita berpihak kepada orang-orang yang beruang. Punya saham di mana-mana, dan punya relasi sangat kuat kepada penguasa yang lainya. Anak-anak muda harapan bangsa, meskin berjiwa patriot, ingin masuk ke dalam sebuah sistem kekuasaan untuk mengubah nasib rakyat. Tapi terkepung dengan paradigma Politik matrialistik.

Anak-anak muda yang berpotensi untuk mengawal aspirasi masyarakat. Akhirnya mengurungkan niat untuk tidak terlibat dalam politik praktis. Apalagi ikut bertarung merebut kekuasaan. Politik dan demokrasi di bangsa ini berbalut kan kapitalisme yang luar biasa.

Demokrasi hanya menyediakan ruang hanya untuk mereka yang punya ongkos politik yang cukup. Membayar partai politik, membangun kontrak politik dengan pengusaha atau pemodal.

Orang miskin di larang berpolitik. Jika orang miskin tetap saja ngotot untuk menjadi pemimpin yang ada kiranya tak semuda mengedipkan mata.

Rabu, 17 Januari 2018

Kebekuan Arena Intelektual

Hidup di tengah lajunya gelombang perubahan sangat pesat ini memperkecil ruang gerak dalam menentukan identitas, penyuguhan informasi dari berbagai realitas membuat kita semakin sulit menentukan pilihan hidup, arah pemikiran, terlebihnya soal selera untuk bertindak. Ruang serta arena interaksi di mana kian lama semakin tereduksi ke dalam dimensi kepentingan kelompok, secara politik, maupun dari konteks ilmu pengetahuan. Sejauh menelusuri setiap insiden atau peristiwa menakjubkan, sebagai wujud dari kecelakaan berpikir terhadap proses menentukan nilai-nilai sosial yang seharusnya tidak pantas terjadi. Korupsi, kolusi, nepotisme adalah contoh kecil yang sangat sulit di hindari di dalam dinamika kekuasaan kontemporer. Benar adanya bahwa, praktek dan budaya tiga sifat sosial dan individu destruktif itu sudah menjadi hakekat perubahan sosial yang tidak terstruktur. Tugas pokok lembaga penegak hukum, untuk memberantas kejahatan kekuasaan yang di sebut korupsi ini, hampir sekedar menjadi pokok wacana public, terjadi letupan perselesihan yang sangat sulit di sudahi secara baik. Peran utama para elit-elit negara, atau pemegang otoritas menyeret misi utama negara itu sendiri. Kepentingan ummat dan bangsa dikesampingkan, dan di jadikan urusan kesekian membuat tubuh negara ini mengalami kehancuran yang mengakut. Sebagian orang melitih bahwa korupsi adalah imbas dari lemahnya proteksi sistem ketatanegaraan, lemahnya peran birokrasi dalam hal pelayanan public, disisi lain birokrasi sendiri tidak demokratis, ujung-ujungnya birokrasi diarahkan sebagai failitas kepentingan politik. Semakin lama peran negara menransformasi trust publik, di mana pada awalnya negara dipercaya sebagai kendaraan ideal bagi kepentingan cita-cita bersama, yakni keadilan sosial, dan kesejahteraan umum sukar di gapai.
Lalu siapa yang patut bertanggung jawab atas kondisi sosial carut marut seperti ini. Padahal semua kewenangan secara legal rasioanl sepenuhnya diserahkan kepada otoritas negara, yang berkewajiban menjalankan seluruh apa yang menjadi kepentingan umum. Lembaga negara diibaratkan seperti sebuah teks yang belum selesai terdefenisikan secara utuh, sebab konteksnya jauh dari apa yang dicita-citakan oleh negara ini. Peristiwa-peristiwa sosial terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat seperti bom waktu, kapan dan dimana saja bias meletup secara tiba-tiba. Persaingan dan pertempuran anatar kelompok terlegitimasi secara diam-diam. Terutama oleh masyarakat, atau public, rakyat terus dilanda kerisauan berdurasi panjang.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah niat baik, atau ketundukan terhadap ideology politik jauh lebih kuat di banding tujuan utama dalam sistem bernegara kita. Tentu, siapa saja pasti melihat situasi dan kondisi seperti ini sesuai dengan pengetahuan serta pengalaman dibidangnya masing-masing. Dari segi politik, gelombang pertempuran dan benturan kepentingan sangat kuat di dalam sistem pemerintahan yang berlaku. Misalnya, sistem birokrasi kita yang terkesan berjalan setengah hati, proses perubahan sistem dalam ranah birokrasi selalu beradaptasi dengan bentuk serta keinginan yang lahir dari bentuk-bentuk selera politik.
Unsur keadilan, dan kejujuran perlahan mongering, karena dominasi politik tanpa kenal pamrih itu memberikan batasan-batasan khusus bagi tindakan setiap individu dan kelompok yang berikrar diri sebagai abdi negara tersebut. Penekanan dan batasan ruang gerak di dalam sistem birokrasi kita umpamanya adalah, ancaman-ancaman pemecatan, pemutasian wilyah kerja, membuat segelintir para abdi negara berpikir seribu kali untuk menentang perintah itu. Mau dan tidak mau, tunduk pasrah dengan segala ketundukan bersifat mora, kebekuan rasa dan nurani atas kedaya kritisan setiap orang. Melawan atau ikut dalam kompromi kekuasan dari konteks politik adalah jalan paling pantas di pilih oleh sebagian besar orang, takur terhadap resiko-resiko kekasaan menjadi momok sangat menakutkan.
Rasa takut seakan-akan bukan merupakan hakekat dasar dari sifat manusia, melainkan tercipta dari bentuk-bentuk kekuasaan yang menindas. Lembaga-lembaga negara di bangun dalam rangka membendung gelombang kejahatan kekuasaan pun ikut terseret kedalam ruang-ruang pertempuran kepentingan kurang sehat tersebut. Pada posisi ini, distrust public terhadap negara, dan para eliti-elit politik hampir semuanya bersumber dari aslasan yang sama. Terobosan-terobosan pembangunan berskala makro tak selemanya di tafsirkan sebagai implementasi niat baik sebuah negara, justru fenomena pembangunan syarat kapitalisme, hanya menguntungkan pihak-pihak elit.
Dalam situasi seperti ini, ruang-ruang piblik terdiagnosa syarat politik, arena-arena intelektual sejatinya merupakan wadah dan saluran sangat idel mengemas, mengolah kedaya kritisan terutama kalangan generasi muda untuk merawan idealisme yang waras, kini mengalami sebuah tabrakan besar. Dinamika sosial kalangan generasi muda pun dicemari spirit kepentingan politis. Meskipun politik bukanlah sesuatu yang haram, setidaknya kalangan intelektual menjadi poros antithesis bagi kondisi bangsa dan negara yang kian menuju jurang kehancuran ini. Ruang-ruang public seharusnya di jadikan arena membangun kekuatan intelektual, membentuk legitimasi intelektual, bukan menjadikan ruang public sebagai arena mendidik diri berwatak borjuis.
negara indonesia di daulat mengalami status darurat narkoba dan korupsi. Dimana narkoba di dominasi generasi muda, sedangkan korupsi sangat identic dengan generasi tua. Meskipun demikian, pengguna narkoba sangat mudah teridentifikasi secara dini, terklasifikasi secara sistematis. Artinya bahwa tidak semua anak muda berpotensi menjadi pengedar dan peandu narkoba. Tetapi apa yang kemudian kita lihat di kalangan generasi tua, bahwa tak satupun mampu mengidentifikasi secara dini sebab sistem bernegara-, dan tatanan birokrasi kita masih cenderung beraroma busuk. Konstitusi serta regulasi kita lahir dari rumusan-rumusan politik berbasis kepentingan kelompk. Peraturan-peraturan yang di buat oleh pemerintah mempunyai celah dan kelemahan sangat kentara, selain itu sistem birokrasi kita mendidik para abdi negara menghidupakn akar-akar budaya korupsi dan sebagainya. Kita ambil contohnya, di dalam isntansi pemerintah hampir sebagain besar di temukan praktek-praktek pungli dan sebagainya.
Apa jadinya bangsa ini, jika generasi penerus bangsa yang masih dalam tahap tumbuh dan berkembang, tak lagi menemuakn ruang-ruang kritis,dan idealis. Sementara kekuasaan sendiri telah berhasil melakukan pembekuan terhadap arena-arena kreasi intelektual dan seni. Generasi mudah kehilangan eksistensi untuk mengontrol kekuasan-kekuasan yang tidak adil dan menindas.

Genap Satu Tahun, Lelaki Pemarah dan Suka Protes itu Kembali Untuk Selamanya

Pada tanggal 7 Desember 2015, Lahir dengan sempurna, menangis seperti bayi pada umunya, sebagai tanda ia telah datang di dunia setelah sekia...