Hidup di tengah lajunya gelombang perubahan sangat pesat
ini memperkecil ruang gerak dalam menentukan identitas, penyuguhan informasi
dari berbagai realitas membuat kita semakin sulit menentukan pilihan hidup,
arah pemikiran, terlebihnya soal selera untuk bertindak. Ruang serta arena
interaksi di mana kian lama semakin tereduksi ke dalam dimensi kepentingan
kelompok, secara politik, maupun dari konteks ilmu pengetahuan. Sejauh
menelusuri setiap insiden atau peristiwa menakjubkan, sebagai wujud dari kecelakaan
berpikir terhadap proses menentukan nilai-nilai sosial yang seharusnya tidak
pantas terjadi. Korupsi, kolusi, nepotisme adalah contoh kecil yang sangat
sulit di hindari di dalam dinamika kekuasaan kontemporer. Benar adanya bahwa,
praktek dan budaya tiga sifat sosial dan individu destruktif itu sudah menjadi
hakekat perubahan sosial yang tidak terstruktur. Tugas pokok lembaga penegak
hukum, untuk memberantas kejahatan kekuasaan yang di sebut
korupsi ini, hampir sekedar menjadi pokok wacana public, terjadi letupan
perselesihan yang sangat sulit di sudahi secara baik. Peran utama para
elit-elit negara, atau pemegang otoritas menyeret misi utama negara itu
sendiri. Kepentingan ummat dan bangsa dikesampingkan, dan di jadikan urusan
kesekian membuat tubuh negara ini mengalami kehancuran yang mengakut. Sebagian
orang melitih bahwa korupsi adalah imbas dari lemahnya proteksi sistem
ketatanegaraan, lemahnya peran birokrasi dalam hal pelayanan public, disisi
lain birokrasi sendiri tidak demokratis, ujung-ujungnya birokrasi diarahkan
sebagai failitas kepentingan politik. Semakin lama peran negara menransformasi
trust publik, di mana pada awalnya negara dipercaya sebagai kendaraan ideal
bagi kepentingan cita-cita bersama, yakni keadilan sosial, dan kesejahteraan
umum sukar di gapai.
Lalu siapa yang patut bertanggung jawab atas kondisi
sosial carut marut seperti ini. Padahal semua kewenangan secara legal rasioanl
sepenuhnya diserahkan kepada otoritas negara, yang berkewajiban menjalankan
seluruh apa yang menjadi kepentingan umum. Lembaga negara diibaratkan seperti
sebuah teks yang belum selesai terdefenisikan secara utuh, sebab konteksnya
jauh dari apa yang dicita-citakan oleh negara ini. Peristiwa-peristiwa sosial
terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat seperti bom waktu, kapan dan
dimana saja bias meletup secara tiba-tiba. Persaingan dan pertempuran anatar
kelompok terlegitimasi secara diam-diam. Terutama oleh masyarakat, atau public,
rakyat terus dilanda kerisauan berdurasi panjang.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah niat baik, atau
ketundukan terhadap ideology politik jauh lebih kuat di banding tujuan utama
dalam sistem bernegara kita. Tentu, siapa saja pasti melihat situasi dan
kondisi seperti ini sesuai dengan pengetahuan serta pengalaman dibidangnya
masing-masing. Dari segi politik, gelombang pertempuran dan benturan
kepentingan sangat kuat di dalam sistem pemerintahan yang berlaku. Misalnya,
sistem birokrasi kita yang terkesan berjalan setengah hati, proses perubahan
sistem dalam ranah birokrasi selalu beradaptasi dengan bentuk serta keinginan
yang lahir dari bentuk-bentuk selera politik.
Unsur keadilan, dan kejujuran perlahan mongering, karena
dominasi politik tanpa kenal pamrih itu memberikan batasan-batasan khusus bagi
tindakan setiap individu dan kelompok yang berikrar diri sebagai abdi negara
tersebut. Penekanan dan batasan ruang gerak di dalam sistem birokrasi kita
umpamanya adalah, ancaman-ancaman pemecatan, pemutasian wilyah kerja, membuat
segelintir para abdi negara berpikir seribu kali untuk menentang perintah itu.
Mau dan tidak mau, tunduk pasrah dengan segala ketundukan bersifat mora,
kebekuan rasa dan nurani atas kedaya kritisan setiap orang.
Melawan atau ikut dalam kompromi kekuasan dari konteks politik adalah jalan
paling pantas di pilih oleh sebagian besar orang, takur terhadap resiko-resiko
kekasaan menjadi momok sangat menakutkan.
Rasa takut seakan-akan bukan merupakan hakekat dasar dari
sifat manusia, melainkan tercipta dari bentuk-bentuk kekuasaan yang menindas.
Lembaga-lembaga negara di bangun dalam rangka membendung gelombang kejahatan
kekuasaan pun ikut terseret kedalam ruang-ruang pertempuran kepentingan kurang sehat tersebut. Pada posisi ini, distrust
public terhadap negara, dan para eliti-elit politik hampir semuanya bersumber
dari aslasan yang sama. Terobosan-terobosan
pembangunan berskala makro tak selemanya di tafsirkan sebagai implementasi niat
baik sebuah negara, justru fenomena pembangunan syarat kapitalisme, hanya
menguntungkan pihak-pihak elit.
Dalam situasi seperti ini, ruang-ruang piblik terdiagnosa
syarat politik, arena-arena intelektual sejatinya merupakan wadah dan saluran
sangat idel mengemas, mengolah kedaya kritisan terutama kalangan generasi muda
untuk merawan idealisme yang waras, kini
mengalami sebuah tabrakan besar. Dinamika sosial kalangan generasi muda pun
dicemari spirit kepentingan politis. Meskipun
politik bukanlah sesuatu yang haram, setidaknya kalangan intelektual menjadi
poros antithesis bagi kondisi bangsa dan negara yang kian menuju jurang
kehancuran ini. Ruang-ruang public seharusnya di jadikan arena membangun
kekuatan intelektual, membentuk legitimasi intelektual, bukan menjadikan ruang
public sebagai arena mendidik diri berwatak borjuis.
negara indonesia di daulat mengalami status darurat
narkoba dan korupsi. Dimana narkoba di dominasi generasi muda, sedangkan
korupsi sangat identic dengan generasi tua. Meskipun demikian, pengguna narkoba
sangat mudah teridentifikasi secara dini, terklasifikasi secara sistematis.
Artinya bahwa tidak semua anak muda berpotensi menjadi pengedar dan peandu
narkoba. Tetapi apa yang kemudian kita lihat di kalangan generasi tua, bahwa
tak satupun mampu mengidentifikasi secara dini sebab sistem bernegara-, dan
tatanan birokrasi kita masih cenderung beraroma busuk. Konstitusi serta
regulasi kita lahir dari rumusan-rumusan politik berbasis kepentingan kelompk.
Peraturan-peraturan yang di buat oleh pemerintah mempunyai celah dan kelemahan
sangat kentara, selain itu sistem birokrasi kita mendidik para abdi negara
menghidupakn akar-akar budaya korupsi dan sebagainya. Kita ambil contohnya, di
dalam isntansi pemerintah hampir sebagain besar di temukan praktek-praktek
pungli dan sebagainya.
Apa jadinya bangsa ini, jika generasi penerus bangsa yang
masih dalam tahap tumbuh dan berkembang, tak lagi menemuakn ruang-ruang
kritis,dan idealis. Sementara kekuasaan sendiri telah berhasil melakukan
pembekuan terhadap arena-arena kreasi intelektual dan seni. Generasi mudah
kehilangan eksistensi untuk mengontrol kekuasan-kekuasan yang
tidak adil dan menindas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar